Gengsi Berbahasa Daerah
Indonesia
tercatan merupakan negara kepulauan yang memiliki belasan ribu pulau. karena
itu negara kita yang tercinta ini di juluki sebagai negara kepulan terbesar di
dunia. Karena banyaknya pulau menciptakan banyaknya isolasi kebudayaan dan hal
tersebut membuat kita menjadi beragam. Sekitar 1.340 suku bangsa dengan 1158 bahasa daerah menurut sensus BPS tahun 2010. wah... benar-benar kaya bukan? Namun, dewasa ini entah kenapa semua itu
memudar. Menurut data yang saya dapat dari nusa pustaka, bahwa ada setidaknya
50 bahasa daerah yang punah setiap tahunnya.
Pada
artikel ini saya ingin mencurahkan kegelisahan saya tentang bahasa daerah yang
mulai memudar. Yah... Bisa dikatakan begitu, sebab tak jarang teman2 sebayaku memiliki
pengetahuan yang rendah tentang kosa kata bahasa mandar. Aku tidak tahu
bagaimana aku harus menggambarkan keperihatinan ini karena kenyataan ini benar2
miris. Generasi muda seakan asing dengan bahasa nenek moyang mereka sendiri. Jujur,
aku sangat ingin merubah kenyataan pahit ini.
Hingga
suatu saat aku memiliki ide untuk membudayakan bahasa mandar di sekolah dengan
menjadikan hari Rabu dan Kamis sebagai hari berbahasa daerah. Seperti yang
Ridwan Kamil lakukan *rabu nyunda, cari aja di google*.
Aku berfikir ada
baiknya memulai ini dari OSIS. Maksudku meminta OSIS untuk mengobrol dengan bahasa
Mandar setiap hari Rabu-Kamis. Dengan cara itu setidaknya ada harapan agar
generasi muda memiliki tambahan kosa kata dalam bahasa Mandar. Ide ini
sebenarnya sudah aku sampaikan pada kepsek dan semoga cepat ditanggapi.
Jika
kalian bertanya “untuk apa?” “kan mereka dapat memperbanyak kosa kata bahasa
mandar dari lingkungan?”. Memang benar, tapi dari yang aku lihat kenyataannya
tidak seperti itu. Mereka yang tinggal di pedesaan seperti ku mungkin bisa
melakukannya, tapi itu tidak bisa dilakukan orang2 yang peradabannya sudah
mendekati kota seperti Majene. Jujur, aku tidak pernah mendengar teman2
menggunakan kata “puang” kepada orang yang lebih tua seperti guru atau orang
tua teman mereka. Mereka lebih terbiasa menggunakan kata ‘om’ dan ‘tante’ untuk
memanggil orang yang lebih tua dari mereka. Benar2 miris.
Jika
kalian berfikir langkah ku ini mengancam bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu bangsa. Maka kalian salah. Langkah ku ini tidak dapat menggeser
eksistensi bahasa persatuan kita, karena bahasa Indonesia juga merupakan mata
pelajaran wajib di sekolah. Jadi pastinya mau tidak mau generasi muda di tuntut
untuk menguasainya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan bahasa daerah yang
tidak termasuk mata pelajaran wajib di sekolah. Tapi menurutku bahasa daerah
tidak perlu menjadi mata pelajaran, karena bahasa itu dikuasai bukan karena di
pelajari tapi karena dibiasakan.
Aku
memiliki seorang guru kursus bahasa inggris berkewarganegaraan Amerika. Meski
begitu, dia memiliki pengetahuan tentang kosa kata bahasa mandar lebih dari
para generasi muda Mandar sendiri. Suatu hari aku pernah menceritakan masalah
ini padanya dan bertanya “apa hal seperti ini pernah terjadi di barat sana?”.
Lalu ini jawabannya; dahulu kala ada ratusan bahasa daerah (Indian) di Amerika
sana, seperti Indonesia. Tapi seiring zaman bahasa2 itu memudar dan mungkin
hanya tersisa dua bahasa daerah dan itu pun hanya digunakan oleh orang2 tua
saja.
Saat
aku mendengar cerita itu, dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin Indonesia
bernasib sama. Aku tidak bisa bayangkan ratusan bahasa daerah ini
perlahan-lahan memudar, dilupakan dan menghilang. Aku berharap segera meninggal
sebelum hal semiris itu terjadi pada bangsaku. Jika kalian hanya berfikir
tentang uang, maka kalian pasti menganggap ini tidak ada untungnya. “untuk apa
mempelajari bahasa daerah? Kau tidak akan jadi apa2 jika mempelajarinya!”. Maka
aku yakin harga diri kalian sebagai bangsa Indonesia yang selalu bangga dengan
kemajemukan dan kekayaan budayanya telah terganti dengan uang. Harga diri
kalian hanyalah segepok uang!
Aku
tak sanggup jika setelah meninggal lalu bertemu dengan nenek moyangku (nenek
moyang bangsa Indonesia) sambil tersenyum dungu dan berkata “aku minta maaf,
generasiku dan generasi setelah ku telah melupakan kalian. Harga diri mereka
telah tergantikan dengan uang”.
Kata
dan bahasa itu hidup, mereka berubah setiap zamannya. Banyak yang berkembang,
namun tak sedikit yang menghilang. Aku tak ingin membiarkan bahasa mandar ini
hanya membusuk di dalam diriku dan orang2 yang menguasainya. Namun apalah
dayaku jika hanya sendiri. Aku berharap artikel ini bisa menggugah hati nurani,
kebanggaan dan harga diri kalian sebagai bangsa Indonesia. BAGI KALIAN YANG
SEPENDAPAT DENGANKU “Perjuangan kita untuk membudayakan generasi muda
menggunakan bahasa daerah baru saja di mulai”. Aku berharap kalian menyebarkan
artikel ini di sosmed kalian, agar lebih banyak orang yang peduli.
Artikel
ini tidak hanya kutujukan untuk bahasa mandar semata, tapi juga semua bahasa
daerah yang ada di Indonesia. Jika kalian berfikir ini tidak penting, maka 10
tahun kedepan kalian akan menjilat ludah kalian sendiri!
Saat
aku menyelesaikan artikel ini, aku hanya tersenyum kecil di depan jendela sambil
menatap keluar. Karena aku sudah menemukan cita-citaku. Sebelum ini setiap aku
ditanya oleh teman2 tentang masa depan, pasti jawabannya tidak jauh2 dari “aku
tidak tahu”. Namun sekarang aku tahu apa cita2ku. Dibandingkan dengan teman2 ku
yang sibuk bercita-cita sebagai pegawai pajak, bea cukai, polisi atau tentara,
aku berfikir cita2ku adalah menciptakan generasi
multilingual. Sebuah generasi yang tidak hanya menguasai bahasa Inggris dan Indonesia, tapi juga bahasa daerah. Agar mereka
tidak melupakan jati diri mereka tapi
tetap bisa Go Nasional dan Go Internasional.

Komentar
Posting Komentar